Dalam amar putusannya, hakim menyatakan terdakwa melanggar pasal 55 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Berita ini tentu menyedihkan bagi masyarakat yang telah menjadi korban dari aksi pengoplosan gas elpiji 3 kg ke tabung bright gas. Meskipun pelaku telah dijatuhi vonis 4 bulan penjara, namun keputusan hakim yang membebaskan pelaku dalam waktu yang sangat singkat, yaitu hanya 13 hari, tentu menjadi sorotan yang patut dipertanyakan. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana hukum dapat memberikan keadilan kepada korban. Dalam kasus ini, korban yang tentunya merasa dirugikan oleh aksi pengoplosan gas elpiji tersebut, mungkin merasa tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya. Bebasnya pelaku dalam waktu yang sangat singkat juga dapat memberikan 'sinyal' kepada pelaku lain bahwa tindakan seperti ini dapat dilakukan tanpa banyak konsekuensi. Selain itu, keputusan ini juga dapat menjadi contoh bagi masyarakat bahwa tindakan kriminal seperti pengoplosan gas elpiji dapat tertangkap dan dijatuhi hukuman, namun pada akhirnya pelaku dapat dengan mudah bebas. Hal ini tentu dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, dan merasa bahwa hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan kerugian yang telah ditimbulkan. Sebagai masyarakat, kita berharap agar penegakan hukum di Indonesia dapat dilakukan secara adil dan proporsional, tanpa pilih kasih dan memberikan keadilan kepada semua pihak, terutama korban dari tindakan kriminal. Dalam kasus ini, penting bagi pihak berwenang untuk melakukan evaluasi terhadap keputusan tersebut, agar keadilan bisa benar-benar ditegakkan. Kita juga berharap agar kasus-kasus serupa yang melibatkan tindakan kriminal yang merugikan masyarakat bisa menjadi pembelajaran bagi semua pihak, sehingga hal seperti ini tidak terulang di masa depan. Hukum harus menjadi alat yang mampu memberikan rasa adil dan aman bagi seluruh masyarakat, tanpa terkecuali. Semoga keadilan bisa ditegakkan dengan sebaik-baiknya demi kebaikan bersama.