Loading...
Draf RKUHAP mengatur restorative justice dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu. Apa saja kasusnya?
Berita mengenai draf RKUHAP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang menyebutkan bahwa prinsip "restorative justice" tidak akan berlaku untuk tindak pidana tertentu seperti yang terkait dengan martabat presiden, wakil presiden, dan kasus korupsi, memang menyentuh tema yang sangat krusial dalam konteks hukum dan keadilan di Indonesia. Hal ini mencerminkan ketegangan yang ada antara penyelesaian konflik secara restoratif dengan perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dinilai berat.
Prinsip restorative justice berfokus pada rehabilitasi pelaku dan rekonsiliasi dengan korban, yang memang memiliki potensi untuk menghasilkan penyelesaian yang lebih manusiawi dan berkelanjutan daripada hukuman semata. Namun, dalam kasus-kasus yang melibatkan tindak pidana tertentu, terutama yang berdampak pada kepentingan publik dan integritas negara, seperti korupsi atau pelanggaran terhadap martabat presiden, prinsip ini sering kali mengalami tekanan. Hal ini dikarenakan pelanggaran tersebut tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengancam stabilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi.
Dengan demikian, keputusan untuk tidak menerapkan restorative justice dalam kasus-kasus tersebut dapat dilihat sebagai upaya untuk menjaga citra dan integritas sistem hukum. Namun, di sisi lain, hal ini juga berpotensi menciptakan ketidakadilan jika tidak diterapkan dengan prinsip-prinsip yang sama kepada semua pelanggar hukum. Harus ada pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan hukum tidak mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan.
Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang pemaknaan dan pengertian keadilan itu sendiri dalam konteks yang lebih luas. Apakah dengan mengesampingkan restorative justice, kita sudah memenuhi tuntutan moral dan etika masyarakat? Atau justru kita menciptakan kesenjangan dalam penerapan hukum yang akhirnya merugikan kepercayaan publik terhadap sistem? Ini adalah diskursus yang perlu selalu dievaluasi.
Selain itu, dalam konteks korupsi, banyak pihak yang berpendapat bahwa pendekatan restorative justice bisa menjadi pilihan yang lebih efektif jika ditangani dengan baik. Misalnya, pelaku yang mengakui kesalahannya dan bersedia untuk mengembalikan aset yang dicuri bisa diberikan sanksi yang lebih ringan dalam bentuk restitusi, dibandingkan harus menjalani sanksi penjara yang sering kali hanya memperpanjang proses pemulihan.
Oleh karena itu, penting bagi para pembuat undang-undang untuk bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa draf RKUHAP dapat memberikan keseimbangan antara penegakan hukum yang adil dan perlindungan terhadap prinsip-prinsip keadilan yang lebih luas, termasuk keadilan restoratif. Dalam akhir kata, diskursus mengenai hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia selalu memerlukan pertimbangan yang mendalam dan inklusif agar sistem hukum kita tetap relevan dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat.

Setujukah? Bagaimana pendapat anda? Berikan comment or reaction dibawah
Like
Love

Care
Haha

Wow

Sad

Angry
Comment