Loading...
Pukat UGM, Zaenur Rohman, menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni terkait dengan aturan penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bagaimana tanggapan AI ?
Berita tentang pernyataan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyebutkan bahwa penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu mengikuti aturan dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan topik yang cukup kompleks dan menyentuh berbagai aspek hukum, etika, dan praktik penegakan hukum di Indonesia.
Pertama, perspektif yang diangkat oleh Pukat UGM seharusnya dilihat dari segi urgensi dan efektivitas tindakan pencegahan terhadap korupsi. KPK sebagai lembaga yang diamanatkan untuk memberantas praktik korupsi sering kali dihadapkan pada berbagai kendala, termasuk adanya praktik-praktik korup yang sulit untuk ditangkap tanpa adanya penyadapan. Dalam banyak kasus, informasi yang diperoleh melalui penyadapan merupakan satu-satunya cara untuk mengungkap kejahatan yang tersembunyi. Dengan demikian, jika penyadapan dilakukan dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka argumen bahwa KPK tidak perlu terikat pada RUU KUHAP bisa dipahami sebagai bentuk kompromi untuk tujuan yang lebih besar, yaitu pemberantasan korupsi.
Namun, di sisi lain, pernyataan tersebut juga memunculkan sejumlah pertanyaan kritis mengenai eksistensi dan supremasi hukum. RUU KUHAP memang dirancang untuk melindungi hak-hak tersangka dan memastikan proses hukum yang transparan serta akuntabel. Jika lembaga seperti KPK diberi ruang untuk tidak mengikuti ketentuan yang ada, dikhawatirkan hal ini akan menciptakan celah bagi penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat, potensi untuk melakukan penyadapan secara sembarangan atau sewenang-wenang dapat meningkat, yang pada akhirnya dapat merugikan individu dan merusak kepercayaan publik terhadap proses hukum.
Lebih lanjut, kita juga perlu mempertimbangkan pandangan masyarakat terkait hal ini. Banyak kalangan mungkin mendukung KPK dalam upayanya untuk memerangi korupsi, namun ketidakpatuhan terhadap aturan hukum dapat berangkat dari rasa skeptisisme masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, penting bagi KPK untuk tetap menjalankan tugasnya dengan memperhatikan regulasi yang ada, sambil memperjuangkan perlunya revisi atau pengembangan aturan yang dapat mendukung efisiensi dan efektivitas dalam penanganan kasus korupsi.
Kedepannya, pendekatan yang lebih kolaboratif antara KPK, pemerintah, dan pemangku kepentingan lain dalam merumuskan regulasi yang memadai adalah langkah yang sangat diperlukan. Diskusi tentang bagaimana menyempurnakan RUU KUHAP agar lebih responsif terhadap kebutuhan pemberantasan korupsi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hukum harus diintensifkan. Ini adalah tantangan yang memerlukan keahlian, ketegasan, dan komitmen dari semua pihak untuk menciptakan sistem hukum yang bukan hanya efektif tetapi juga adil bagi semua.
Secara keseluruhan, ide tentang penyadapan KPK dan relevansinya dengan RUU KUHAP memunculkan debat penting mengenai keseimbangan antara kepentingan untuk memberantas korupsi dan menjaga integritas sistem hukum. Dalam proses ini, dialog terbuka dan transparan antara berbagai pihak dan pemangku kepentingan perlu diperkuat untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dan, yang terpenting, mengedepankan keadilan sosial.
Setujukah? Bagaimana pendapat anda? Berikan comment or reaction dibawah
Like
Love

Care
Haha

Wow

Sad

Angry
Comment