Saka Tatal menegaskan bahwa ia bukan anggota geng motor dan tidak memiliki motor sama sekali. Berita mengenai Sosok Saka, mantan terpidana kasus kematian Vina Cirebon yang terpaksa mengaku karena tak kuat disiksa memunculkan perasaan simpati dan prihatin terhadap dirinya. Kisah yang dialami oleh Saka merupakan bukti nyata dari adanya kasus pemaksaan pengakuan yang terjadi di dalam sistem hukum, dimana seseorang terpaksa mengaku atas suatu kejahatan yang sebenarnya tidak dilakukannya akibat tekanan dan penyiksaan yang diterimanya. Apabila benar bahwa Saka terpaksa mengaku karena tidak kuat disiksa, maka hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum. Penyiksaan dan pemaksaan pengakuan merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak dapat diterima dalam sistem peradilan yang berkeadilan. Dalam kasus seperti ini, perlu adanya investigasi yang mendalam untuk mengungkap kebenaran atas dugaan penyiksaan yang dialami oleh Saka.‎Pihak berwenang harus bertindak tegas terhadap praktik penyiksaan dan upaya pemaksaan pengakuan demi mendapatkan keadilan yang sejati. Penegakan hukum yang berintegritas dan adil harus selalu diutamakan demi melindungi hak-hak setiap individu yang terlibat dalam proses hukum. Selain itu, kasus ini juga perlu menjadi pelajaran bagi seluruh pihak terkait, baik aparat penegak hukum maupun masyarakat, untuk tidak terburu-buru dalam menyalahkan seseorang tanpa bukti yang cukup. Keadilan harus dijunjung tinggi dan tidak boleh ada ruang bagi praktik penyiksaan dan pemaksaan pengakuan di dalam sistem peradilan. Semoga kasus ini dapat menjadi momentum untuk merubah mindset dan praktek dalam penegakan hukum di Indonesia, agar tidak ada lagi korban yang harus mengalami penyiksaan dan pemaksaan pengakuan dalam proses peradilan. Kita semua harus bersatu untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama di depan hukum dan tidak menjadi korban dari ketidakadilan yang terjadi.