Loading...
Koalisi masyarakat sipil Gebrak membandingkan pembahasan RUU PPRT yang sudah bertahun-tahun tapi tak kunjung disahkan. Sementara RUU TNI dibahas kilat.
Berita dengan judul "UU TNI Sah, Buruh Bandingkan dengan RUU PPRT yang Tak Kunjung Rampung" mencerminkan dua aspek penting dalam legislatif Indonesia: kecepatan pengesahan undang-undang dan perhatian terhadap isu-isu sosial. Di satu sisi, pengesahan UU TNI menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR dapat bekerja secara efektif dalam memproses kebijakan yang dianggap penting bagi keamanan dan pertahanan negara. Namun, di sisi lain, perbandingan dengan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) mencerminkan ketidakpuasan dan frustrasi berbagai kalangan, terutama buruh, terhadap apa yang mereka anggap sebagai ketidakadilan dalam prioritas legislasi.
RUU PPRT adalah salah satu inisiatif penting untuk melindungi hak-hak pekerja rumah tangga, yang seringkali dianggap sebagai kelompok rentan dalam masyarakat. Ketidakpastian dan lambatnya proses pengesahan RUU ini bisa diartikan sebagai pengabaian terhadap perlindungan hukum bagi mereka yang bekerja di sektor informal. Masyarakat luas mulai mempertanyakan mengapa undang-undang yang berkenaan dengan keamanan dan pertahanan dapat disahkannya dengan cepat, sementara isu perlindungan kaum buruh, khususnya pekerja rumah tangga, terjebak dalam proses legislatif yang panjang dan tidak jelas.
Dari sudut pandang kepentingan publik, pengesahan UU TNI seharusnya tidak menutupi urgensi perlindungan hak-hak pekerja yang justru mulai terpinggirkan. Ini menunjukkan bahwa ada ketidakselarasan dalam prioritas legislatif antara keamanan negara dan kesejahteraan masyarakat. RUU PPRT notabene adalah langkah signifikan dalam menciptakan keadilan sosial, namun lebih seringkali terabaikan. Situasi ini menggugah kesadaran bahwa legislator harus mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan masyarakat bukan hanya berdasarkan urgensi keamanan, tetapi juga dengan memperhatikan kesejahteraan dan hak asasi manusia.
Frustrasi dari kalangan buruh juga bisa dibaca sebagai gambaran lebih besar terkait bagaimana kebijakan publik sering kali tidak mencerminkan kebutuhan dan suara masyarakat. Ini mengisyaratkan perlunya reformasi dalam cara kerja legislatif, agar lebih responsif terhadap isu-isu yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Keterlibatan masyarakat mendalam dalam proses legislasi perlu ditingkatkan, sehingga suara yang mewakili kelompok-kelompok rentan seperti pekerja rumah tangga bisa didengar dan diperhatikan.
Akhirnya, berita ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara berbagai aspek kebijakan publik. Pemerintah dan DPR harus mampu mengelola prioritas hukum dengan lebih bijak, tidak hanya fokus pada isu keamanan, tetapi juga memperhatikan aspek sosial yang mempengaruhi banyak kehidupan masyarakat. Dengan menciptakan kebijakan yang lebih inklusif, diharapkan di masa mendatang, tidak akan ada lagi perbandingan yang mencolok seperti ini antara undang-undang yang satu dengan lainnya dalam konteks kepentingan rakyat.

Setujukah? Bagaimana pendapat anda? Berikan comment or reaction dibawah
Like
Love

Care
Haha

Wow

Sad

Angry
Comment